Saat ini, ada empat stasiun televisi swasta yang mempercayakan program acaranya ke presenter Binsar Choky Victory Sitohang. Ya, pria kelahiran Bandung 10 Juli 1982 ini memang sedang naik daun.
Sejak remaja, sulung pasangan Poltak Sitohang-Diana Napitupulu ini berharap bisa setenar Bob Tutupoli atau Koes Hendratmo di masa jayanya.
Sekarang sudah terkenal seperti yang dulu diidamkan, dong?
Puji Tuhan, karier dan rezeki yang saya dapat saat ini, tak lepas dari jawaban doa. Saya masih ingat, waktu berdoa, saya bilang, "Tuhan, saya ingin punya kesibukan dalam bekerja, punya job terus, dan bisa tampil di televisi setiap hari."
Berkat Mama pula, saya mendapatkan jalan menuju dunia presenter. Meski Mama seorang penjahit, dia selalu punya waktu dan cara untuk mengembangkan talenta saya.
Maksudnya?
Ceritanya, suatu hari Mama membaca lowongan presenter di Lativi dan langsung menyuruh saya mengetik dan mengirim CV secepat mungkin. Padahal, saat itu saya kerja sebagai penyiar di Radio OZ Bandung sekaligus kuliah. Mama terus menyemangati saya.
Setelah dapat panggilan, saya sempat harus enam kali bolak-balik Bandung-Jakarta. Tiap kali naik kereta api tiga jam dari Bandung, turun di Stasiun Jatinegara, lalu naik angkot ke kantor Lativi.
Setiba di sana, kejutan lain sudah menanti saya. Ternyata saat itu mereka perlu presenter news yang bertugas sebagai pembaca berita dan reporter. Jelas, di satu sisi, saya merasa lowongan itu bukan keinginan saya. Akhirnya, terlanjur kecebur di bidang ini. Sebagai reporter, saya ditugaskan meliput sekaligus membacakan berita.
Menyesal?
Tidak juga. Toh, sebagian keinginan saya terwujud. Sampai pertengahan tahun 2005 profesi itu saya jalani. Yang jelas, saya jadi kenal banyak orang. Terutama saat dipercaya jadi reporter di istana kepresidenan. Waktu itu masih zaman pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Saya jadi bisa bertemu dengan publik figur seperti pejabat teras, menteri, panglima, dan lainnya.
Di tengah kesibukan saat itu, saya mendengar ada suara-suara yang mengingatkan bahwa kemampuan yang saya miliki bisa untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kalau terus jadi reporter, saya enggak bisa berkembang. Maksudnya, terikat kerja di stasiun televisi itu. Kalau jadi presenter, kan, saya bisa lepas dan mengembangkan diri di berbagai tempat dan bidang apa saja.
Akhirnya, setelah 3 tahun jadi reporter, saya merasa sudah mendapat cukup ilmu dan menemukan waktu yang tepat untuk beralih profesi menjadi presenter. Pertengahan 2005, saya mengundurkan diri dari Lativi kemudian ikut casting untuk reality show Cepetan Dong yang tayang di RCTI pada Agustus 2005. Namun tak berlangsung lama karena saya kena sakit liver gara-gara terlalu capek bekerja. Mau tidak mau, saya harus istirahat dan absen hingga akhir 2005. Baru tahun berikut, ikut casting lagi untuk program di teve lokal. Dari situ, saya terus menjalani karier sebagai pembawa acara.
Presenter biasanya punya gaya tersendiri. Bagaimana dengan ciri khas seorang Choky?
Dalam rentang waktu dua tahun ini, saya belum merasa sepenuhnya jadi presenter yang sukses dan terkenal (sekarang ini Choky menjadi presenter acara Stardut di Indosiar, Solusi Life di O Channel, Mario Teguh Golden Ways di Metro TV, dan dikontrak RCTI untuk berbagai acara musik serta olahraga).
Saya, sih, maunya jadi presenter yang bergaya spontan, smart, dan elegan. Harapannya, saya bisa mempengaruhi orang secara positif. Sebagai presenter, maunya saya berkapasitas besar untuk membawakan acara apa pun dan di mana pun. Jadi, tidak mengkhususkan diri.
Sekilas, kesibukan sekarang tak jauh beda dengan pekerjaan sebelumnya.
Itu dia. Sama seperti yang dirasakan orang lain, saya sering merasa capek melakukan pekerjaan enggak ada habisnya, sampai kadang-kadang bosan. Namun, semuanya saya kembalikan pada rasa syukur ke Tuhan.
Saat sedang down namun tetap harus tampil prima dan menyenangkan, saya jadi suka nostalgia ke masa remaja. Saya ingat banget, saat itu masih SMA dan senang sekali diminta jadi pembawa acara di sekolah dan gereja. Kalau teman-teman yang lain tampil biasa-biasa saja, saya justru terpacu ingin tampil maksimal seperti presenter-presenter senior di TV. Di ingatan saya, saat itu hanya ingin menjadi seperti Bob Tutupoli, Kris Biantoro, Koes Hendratmo, Tantowi Yahya, Indy Barendz, Ferdi Hassan, sampai Nico Siahaan.
Saat melihat aksi mereka di televisi, saya suka bergumam, "Bakat saya sama dengan mereka.", dan saat itu juga saya mendengar ada suara yang berbicara dalam hati, "Kemampuan dan bakat kamu juga sama seperti mereka!" Saya percaya, itu Tuhan yang berbicara. Berbekal dua hal ini, saya tetap termotivasi menjalani karier saya sekarang.
Salah satu peranan presenter di panggung adalah pintar membawakan acara dan membawa diri. Ada pengaruhnya terhadap hidup keseharian?
Jujur, dulu saya tidak sedisiplin sekarang. Ya, bisa karena usia, jadi makin banyak pengalaman dan pengetahuan menghadapi dunia sesungguhnya, yakni di luar keluarga. Sebenarnya, tidak ada perubahan yang begitu mendasar dalam hidup saya. Saat remaja pun, saya menjalani masa-masa menyenangkan baik di rumah, sekolah, dan di komunitas di gereja.
Waktu kecil, saya juga sudah senang bertemu banyak orang. Kata orang zaman sekarang, "banci tampil". Kalau teman-teman suka sulit menghafal pelajaran, saya malah semangat dan sudah hafal Pancasila sejak usia 4 tahun. Selain itu, saya suka menyanyi. Bisa jadi karena lingkungan keluarga yang menyukai musik.
Itu sebabnya, sejak saya SD, kami sekeluarga suka menonton acara musik yang dibawakan Bob Tutupoli, Koes Hendratmo, dan Tantowi Yahya. Dalm pikiran anak-anak, saat itu saya melihat mereka sebagai seseorang yang santun, Terlepas dari acaranya, saya kagum melihat mereka bisa tampil menyenangkan, bersemangat, dan santun. Pelan-pelan saya terbentuk dengan sikap-sikap seperti ini.
Jadi, apa tantangan dan mimpi selanjutnya?
Saya ini orang yang mawas diri dan ingin tetap seperti itu. Makanya, saya sempatkan evaluasi hasil tayangan acara yang saya bawakan. Enggak selalu puas, sih. Kalau ada kekurangan di saat itu, saya koreksi di acara berikutnya.
Saya sadar, pekerjaan ini saya mulai dari nol. Selama merintis karier ini, banyak suka duka yang saya alami. Pengalaman pahit dari tingkat senioritas pun tak jarang saya alami.
Dulu, saya pernah merasa enggak dikasih kesempatan untuk maju karena senior saya takut tersingkir dengan keberadaan saya. Namun, saya ambil sisi positifnya. Setiap orang pasti punya waktu untuk berkembang dan berkarya karena terlahir di generasi yang berbeda. Makanya sekarang saya optimis bisa bertahan karena punya karakter, rendah hati, dan fokus.
Cita-cita? Saya ingin tetap eksis di dunia ini. Kalaupun orang sudah bosan dengan saya, saya sudah menyiapkan rencana lainnya yaitu mendirikan sekolah broadcasting agar dapat membantu mereka yang punya talenta dan ingin dekat dengan saya namun enggak punya kesempatan dan ruang untuk maju.
Melalui sekolah itu, saya ingin tetap bisa jadi public speaker dan melahirkan banyak Choky Sihotang lainnya.
from CP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar