Tana Toraja adalah
tempat kelahiran nenek moyang saya.Walaupun saya tidak murniberdarah Toraja karena ayah saya mewarisi darah Bugis
dari kakek. Namun begitu, dilahirkan dan besar dalam komunitas suku Toraja
membuat saya merasa orang Toraja seutuhnya. Kekayaan budaya, bentang alam yang
indah, dan etos kerja masyarakatnya yang tinggi, menjadi pelengkap kebanggaan
saya menjadi bagian dari suku Toraja.
Toraja memiliki begitu banyak peninggalan sejarah yang
patut untuk diketahui dan menjadi bagian dari perjalanan panjang bangsa
Indonesia. Mulai dari sejarah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh
misionaris Belanda, perjuangan Pong Tiku (Pahlawan Nasional Indonesia) merebut
kemerdekaan Indonesia, hingga masa pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
pimpinan Kahar Muzakkar dengan melakukan pembantaian terhadap ribuan suku
Toraja yang meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Toraja.
Saya meyakini bahwa semangat kebersamaan yang
berlandaskan semboyan “Misa’ kada
dipotuo, pantan kada dipomate” (maknanya sepadan dengan istilah bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh) menjadi kekuatan utama masyarakat Toraja.
Semboyan ini dikenal dari generasi ke generasi hingga saat ini menjadi nilai
yang berakar kuat dalam setiap individu masyarakat Toraja, tercermin dalam
semangat kebersamaan dalam upacara kematian, pernikahan, syukuran dan lain-lain.
Selain beberapa
peristiwa sejarah yang telah saya sebutkan diatas, kejadian yang menjadi fakta
tak terbantahkan dan pernah terjadi di Tana Toraja tersebut dikenal dengan
istilah Ra’ba biang. Ra’ba biang adalah wabah influenza yang
membunuh ribuan suku Toraja pada tahun 1918.
Salah satu informasi yang langsung disampaikan melalui
nenek kepada ayah saya bahwa pada saat itu orang-orang kewalahan untuk
menguburkan jenasah. Bahkan ketika pulang dari penguburan, ditemukan lagi orang
sakit (dengan gejala yang sama yaitu demam, sakit kepala
menusuk, dan sakit pada tulang-tulang sendi) lalu meninggal. Begitu
seterusnya hingga orang awam beranggapan bahwa wabah tersebut adalah kutukan
dan karena begitu menakutkannya wabah tersebut, hingga sekarang istilah ra’ba biang tidak boleh sembarang
disebutkan.
Sayangnya, informasi
dalam bentuk literal yang seharusnya lebih banyak menjelaskan informasi
dibalik bukti-bukti autentik yang ada disana
masih sangat kurang. Sampai saat ini, informasi tentang Ra’ba biang yang ada lebih banyak
berbentuk lisan, yaitu informasi yang didapatkan dari mulut ke mulut dan dari
generasi ke generasi. Akibatnya, informasi terkait peristiwa tersebut perlahan
mulai hilang ditelan zaman.
Informasi tentang peristiwa Ra’ba biang justru lebih banyak didapatkan dari hasil kajian
literatur beberapa peneliti luar negeri, antara lain; Roxana Waterson (2009),
dan Colin Brown. Dalam bukunya berjudul “Paths and Rivers; Sa’dan Toraja Society in Transformation”,
disebutkan bahwa ra’ba biang adalah
istilah dari kejadian orang-orang yang bertumbangan seperti rumput yang ditebas
(cut down like a grass). Disebutkian
juga bahwa, pada masa itu belum ada layanan kesehatan yang layak bagi si
penderita sehingga korban berjatuhan sangat banyak (Waterson, 2009:109). Colin Brown (1987), seorang sejarawan dari Australia
yang menuliskan artikel berjudul “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”. Artikel tersebut kemudian dimuat dalam
buku yang berjudul Death and Disease in Southeast Asia:
Explorations of Social, Medical and Demographic History. Dalam catatannya, disebutkan bahwa Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda memperkirakan sekitar 10 persen dari 3.000 populasi
Toraja meninggal.
Saya menemukan jurnal hasil penelitian Prayitno, dkk
(2009) yang menjelaskan informasi tentang peristiwa menakutkan ini. Prayitno adalah anggota peneliti Sejarah
Pandemik Influenza 1918 di Hindia Belanda dari Universitas Indonesia. Dari hasil temuannya, diketahui bahwa ada keterkaitan antara peristiwa ra’ba biang di Toraja pada tahun 1918,
dengan wabah influenza yang menjangkiti seluruh dunia pada tahun yang sama. Penyakit
ini merupakan penyakit influenza tipe A, tipe
yang paling berbahaya dan dapat mematikan.
Penyakit ini juga mempunyai masa
inkubasi yang cepat. Sama dengan di daerah lain, keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang
penyembuahan penyakit juga menjadi
faktor banyaknya korban yang berjatuhan.
Diperkirakan sekitar 1,5 juta orang di Nusantara
meninggal dunia akibat wabah flu mematikan yang menyerang pada tahun 1918
sampai dengan 1919. Virus yang juga dikenal dengan virus Spanyol ini memakan korban
melebihi jumlah korban yang meninggal dunia pada perang dunia pertama. Hal ini
diungkap dalam artikel di situs resmi Universitas Stanford: The
influenza pandemic of 1918-1919 killed more people than the Great War, known
today as World War I (WWI), at somewhere between 20 and 40 million people. It
has been cited as the most devastating epidemic in recorded world history. More
people died of influenza in a single year than in four-years of the Black Death
Bubonic Plague from 1347 to 1351. Known as "Spanish Flu" or "La
Grippe" the influenza of 1918-1919 was a global disaster. (dikutip dari https://virus.stanford.edu/uda/)
Bagaimana virus pandemik influenza menyebar dari dataran
Eropa ke Tana Toraja? Menurut
catatan pemerintah Hindia Belanda, seperti yang dikutip dalam prayitno (2009),
penularan berawal dari China sebagai negara pertama di Asia yang terjangkit
influensa, lalu menyebar hingga pantai utara Sumatera. Konsul Belanda di
Singapura sempat memberi peringatan kepada Pemerintah Batavia untuk waspada
terhadap kedatangan orang yang tertular flu dari daratan China. Namun sayangnya
peringatan tersebut tidak sampai ke daerah lain, sehingga virus penyakit
tersebut menjalar melalui pelabuhan besar di Makassar dan daerah-daerah
lainnya. Perlu diketahui bahwa pada masa itu Makassar merupakan salah satu basis
pertahanan Belanda untuk menguasai Indonesia bagian timur dan Tana Toraja yang secara geografis berdekatan dengan Makassar, merupakan
destinasi strategis bagi pemerintah kolonial Belanda dalam memperluas daerah
jajahannya dibanding dengan daerah-daerah disekitarnya yang telah dikuasai oleh
kerajaan Gowa Tallo dan kerajaan Luwu. Kenyataan tersebut diyakini menjadi
faktor utama tersebarnya wabah ra’ba
biang di Tana Toraja
Wabah tahun 1918 ini sangat penting untuk dipelajari
mengingat penyakit dengan gejala yang sama terus berulang secara
berturut-turut, seperti wabah virus SARS yang menyebar pada tahun 2003, Flu
Burung, Flu Babi dan yang terakhir adalah Flu Unta. Namun sayangnya, peristiwa
mahadahsyat yang terjadi justru dilupakan oleh masyarakat dunia.
Wabah yang juga terjadi di Nusantara khususnya di Toraja tidak
penah tertulis dalam buku pendidikan sejarah khususnya di Indonesia, bahkan terkesan
sengaja dilupakan. Hal tersebut menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab. Apalagi peristiwa tersebut menguatkan spekulasi bahwa setiap perang
besar akan diakhiri dengan peristiwa maha dahsyat. Perang dunia I diakhiri
dengan wabah pandemik influenza, perang dunia II diakhiri dengan pemusnahan
massal Hiroshima dan Nagasaki. Di indonesia? Perang disintegrasi antara TNI dan
GAM diakhiri dengan bencana besar tsunami.
Kenyataan
miris lainnya digambarkan dengan jelas oleh Alberd Camus, seorang pemerhati
pandemik pada petikan berikut: But what are a hundred million deaths? When one has served
in a war, one hardly knows what a dead man is, after a while. And since a dead
man has no substance unless one has actually seen him dead, a hundred million
corpses broadcast through history are no more than a puff of smoke in the
imagination.
Camus menekankan bahwa kita membiarkan perang terjadi
karena kita tidak bisa benar-benar memahami apa arti jutaan orang mati karena
wabah penyakit. Sama halnya dengan saksi bisu kuburan massal di Tana
Toraja yang merupakan korban Ra’ba biang.
Mereka seolah hanyalah seonggok tulang tak berarti. Hingga suatu saat tidak
lagi dikenal sebagai bukti sejarah masa lalu suku Toraja.“L'histoire se répète'” demikian semboyan
dalam dunia sejarah Prancis. Sejarah akan selalu berulang dengan sifat yang
sama namun dalam bentuk yang berbeda. “Jas
Merah!” Jangan sekali-kali melupakan sejarah, itu semboyan pendiri bangsa,
Bung Karno.
Memang perih untuk membuka peristiwa sejarah masa lalu, namun lebih menyakitkan
lagi bila kita menutup diri dari sejarah. Peristiwa “ra’ba biang” hanyalah salah satu dari sekian banyak sejarah yang
perlu menjadi referensi perjuangan masyarakat Toraja menuju masyarakat modern namun
tetap memegang nilai-nilai kearifan lokal. Saya meyakini bahwa setiap peristiwa
besar yang ada di Tana Toraja adalah bagian dari warisan budaya yang patut
diketahui dan dijaga oleh putra-putri suku Toraja. Tanpa perhatian khusus dari
mereka, sejarah tersebut dapat berurubah atau dihilangkan karena pragmatisme
kekuasaan.
(Para pembaca yang membutuhkan referensi dari sumber yang saya sebutkan diatas, bisa kirim pesan melalui facebook saya. Terima Kasih )
Iya saya jga pernah dengar cerita dari nenek tentang pristiwa itu Ra'ba Biang
BalasHapus