Kamis, 25 Desember 2014

Peristiwa Ra’ba Biang; Sejarah Besar di Tana Toraja yang Mulai Terlupakan

Tana Toraja adalah tempat kelahiran nenek moyang saya.Walaupun saya tidak murniberdarah Toraja karena ayah saya mewarisi darah Bugis dari kakek. Namun begitu, dilahirkan dan besar dalam komunitas suku Toraja membuat saya merasa orang Toraja seutuhnya. Kekayaan budaya, bentang alam yang indah, dan etos kerja masyarakatnya yang tinggi, menjadi pelengkap kebanggaan saya menjadi bagian dari suku Toraja.
Toraja memiliki begitu banyak peninggalan sejarah yang patut untuk diketahui dan menjadi bagian dari perjalanan panjang bangsa Indonesia. Mulai dari sejarah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh misionaris Belanda, perjuangan Pong Tiku (Pahlawan Nasional Indonesia) merebut kemerdekaan Indonesia, hingga masa pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar dengan melakukan pembantaian terhadap ribuan suku Toraja yang meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Toraja.
Saya meyakini bahwa semangat kebersamaan yang berlandaskan semboyan “Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate” (maknanya sepadan dengan istilah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) menjadi kekuatan utama masyarakat Toraja. Semboyan ini dikenal dari generasi ke generasi hingga saat ini menjadi nilai yang berakar kuat dalam setiap individu masyarakat Toraja, tercermin dalam semangat kebersamaan dalam upacara kematian, pernikahan, syukuran dan lain-lain.   
Selain beberapa peristiwa sejarah yang telah saya sebutkan diatas, kejadian yang menjadi fakta tak terbantahkan dan pernah terjadi di Tana Toraja tersebut dikenal dengan istilah Ra’ba biang. Ra’ba biang adalah wabah influenza yang membunuh ribuan suku Toraja pada tahun 1918.
Salah satu informasi yang langsung disampaikan melalui nenek kepada ayah saya bahwa pada saat itu orang-orang kewalahan untuk menguburkan jenasah. Bahkan ketika pulang dari penguburan, ditemukan lagi orang sakit (dengan gejala yang sama yaitu demam, sakit kepala menusuk, dan sakit pada tulang-tulang sendi) lalu meninggal. Begitu seterusnya hingga orang awam beranggapan bahwa wabah tersebut adalah kutukan dan karena begitu menakutkannya wabah tersebut, hingga sekarang istilah ra’ba biang tidak boleh sembarang disebutkan.
Sayangnya, informasi  dalam bentuk literal yang seharusnya lebih banyak menjelaskan informasi dibalik bukti-bukti autentik yang ada disana  masih sangat kurang. Sampai saat ini, informasi tentang Ra’ba biang yang ada lebih banyak berbentuk lisan, yaitu informasi yang didapatkan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi. Akibatnya, informasi terkait peristiwa tersebut perlahan mulai hilang ditelan zaman.
Informasi tentang peristiwa Ra’ba biang justru lebih banyak didapatkan dari hasil kajian literatur beberapa peneliti luar negeri, antara lain; Roxana Waterson (2009), dan Colin Brown. Dalam bukunya berjudul “Paths and Rivers; Sa’dan Toraja Society in Transformation”, disebutkan bahwa ra’ba biang adalah istilah dari kejadian orang-orang yang bertumbangan seperti rumput yang ditebas (cut down like a grass). Disebutkian juga bahwa, pada masa itu belum ada layanan kesehatan yang layak bagi si penderita sehingga korban berjatuhan sangat banyak  (Waterson, 2009:109). Colin Brown (1987), seorang sejarawan dari Australia yang menuliskan artikel berjudul The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia. Artikel tersebut kemudian dimuat dalam buku yang berjudul Death and Disease in Southeast Asia: Explorations of Social, Medical and Demographic History. Dalam catatannya, disebutkan bahwa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memperkirakan sekitar 10 persen dari 3.000 populasi Toraja meninggal.
Saya menemukan jurnal hasil penelitian Prayitno, dkk (2009) yang menjelaskan informasi tentang peristiwa menakutkan ini. Prayitno adalah anggota peneliti Sejarah Pandemik Influenza 1918 di Hindia Belanda dari Universitas Indonesia. Dari hasil temuannya, diketahui bahwa ada keterkaitan antara peristiwa ra’ba biang di Toraja pada tahun 1918, dengan wabah influenza yang menjangkiti seluruh dunia pada tahun yang sama. Penyakit ini merupakan penyakit influenza tipe A, tipe yang paling berbahaya dan dapat mematikan. Penyakit ini juga mempunyai masa  inkubasi yang cepat. Sama dengan di daerah lain, keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang penyembuahan penyakit  juga menjadi faktor banyaknya korban yang berjatuhan.
Diperkirakan sekitar 1,5 juta orang di Nusantara meninggal dunia akibat wabah flu mematikan yang menyerang pada tahun 1918 sampai dengan 1919. Virus yang juga dikenal dengan virus Spanyol ini memakan korban melebihi jumlah korban yang meninggal dunia pada perang dunia pertama. Hal ini diungkap dalam artikel di situs resmi Universitas StanfordThe influenza pandemic of 1918-1919 killed more people than the Great War, known today as World War I (WWI), at somewhere between 20 and 40 million people. It has been cited as the most devastating epidemic in recorded world history. More people died of influenza in a single year than in four-years of the Black Death Bubonic Plague from 1347 to 1351. Known as "Spanish Flu" or "La Grippe" the influenza of 1918-1919 was a global disaster. (dikutip dari https://virus.stanford.edu/uda/)
 Bagaimana virus pandemik influenza menyebar dari dataran Eropa ke Tana Toraja? Menurut catatan pemerintah Hindia Belanda, seperti yang dikutip dalam prayitno (2009), penularan berawal dari China sebagai negara pertama di Asia yang terjangkit influensa, lalu menyebar hingga pantai utara Sumatera. Konsul Belanda di Singapura sempat memberi peringatan kepada Pemerintah Batavia untuk waspada terhadap kedatangan orang yang tertular flu dari daratan China. Namun sayangnya peringatan tersebut tidak sampai ke daerah lain, sehingga virus penyakit tersebut menjalar melalui pelabuhan besar di Makassar dan daerah-daerah lainnya. Perlu diketahui bahwa pada masa itu Makassar merupakan salah satu basis pertahanan Belanda untuk menguasai Indonesia bagian timur dan Tana Toraja yang secara geografis berdekatan dengan Makassar, merupakan destinasi strategis bagi pemerintah kolonial Belanda dalam memperluas daerah jajahannya dibanding dengan daerah-daerah disekitarnya yang telah dikuasai oleh kerajaan Gowa Tallo dan kerajaan Luwu. Kenyataan tersebut diyakini menjadi faktor utama tersebarnya wabah ra’ba biang di Tana Toraja
Wabah tahun 1918 ini sangat penting untuk dipelajari mengingat penyakit dengan gejala yang sama terus berulang secara berturut-turut, seperti wabah virus SARS yang menyebar pada tahun 2003, Flu Burung, Flu Babi dan yang terakhir adalah Flu Unta. Namun sayangnya, peristiwa mahadahsyat yang terjadi justru dilupakan oleh masyarakat dunia.
Wabah yang juga terjadi di Nusantara khususnya di Toraja tidak penah tertulis dalam buku pendidikan sejarah khususnya di Indonesia, bahkan terkesan sengaja dilupakan. Hal tersebut menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Apalagi peristiwa tersebut menguatkan spekulasi bahwa setiap perang besar akan diakhiri dengan peristiwa maha dahsyat. Perang dunia I diakhiri dengan wabah pandemik influenza, perang dunia II diakhiri dengan pemusnahan massal Hiroshima dan Nagasaki. Di indonesia? Perang disintegrasi antara TNI dan GAM diakhiri dengan bencana besar tsunami.
Kenyataan miris lainnya digambarkan dengan jelas oleh Alberd Camus, seorang pemerhati pandemik  pada petikan berikut: But what are a hundred million deaths? When one has served in a war, one hardly knows what a dead man is, after a while. And since a dead man has no substance unless one has actually seen him dead, a hundred million corpses broadcast through history are no more than a puff of smoke in the imagination.
Camus menekankan bahwa kita membiarkan perang terjadi karena kita tidak bisa benar-benar memahami apa arti jutaan orang mati karena wabah penyakit. Sama halnya dengan saksi bisu kuburan massal di Tana Toraja yang merupakan korban Ra’ba biang. Mereka seolah hanyalah seonggok tulang tak berarti. Hingga suatu saat tidak lagi dikenal sebagai bukti sejarah masa lalu suku Toraja.L'histoire se répète'” demikian semboyan dalam dunia sejarah Prancis. Sejarah akan selalu berulang dengan sifat yang sama namun dalam bentuk yang berbeda. “Jas Merah!” Jangan sekali-kali melupakan sejarah, itu semboyan pendiri bangsa, Bung Karno. 
Memang perih untuk membuka peristiwa sejarah masa lalu, namun lebih menyakitkan lagi bila kita menutup diri dari sejarah. Peristiwa “ra’ba biang” hanyalah salah satu dari sekian banyak sejarah yang perlu menjadi referensi perjuangan masyarakat Toraja menuju masyarakat modern namun tetap memegang nilai-nilai kearifan lokal. Saya meyakini bahwa setiap peristiwa besar yang ada di Tana Toraja adalah bagian dari warisan budaya yang patut diketahui dan dijaga oleh putra-putri suku Toraja. Tanpa perhatian khusus dari mereka, sejarah tersebut dapat berurubah atau dihilangkan karena pragmatisme kekuasaan. 

(Para pembaca yang membutuhkan referensi  dari sumber yang saya sebutkan diatas, bisa kirim pesan melalui facebook saya. Terima Kasih ) 

1 komentar:

  1. Iya saya jga pernah dengar cerita dari nenek tentang pristiwa itu Ra'ba Biang

    BalasHapus